‘In, sini deh…’ teman saya berbisik sambil memberi isyarat untuk mendekat padanya. Penting banget nih kayanya.
‘Kenapa sih kamu ngga punya Blackberry?’
Ealaaaa…kirain apaan. Ini pertanyaan keseratus yang ditujukan ke saya-mestinya teman saya itu dapat mug, dan terus terang saya bosen jawabnya. Biasanya saya jawab asal ’Ngga punya duit!’ dan yang bukan teman dekat biasanya percaya, manggut-manggut dan tidak menanyakan lagi. Habis perkara.
Tapi ada juga yang gigih bertanya, ngga percaya dengan jawaban saya, dan MENGULANG pertanyaan itu. Oh, seakan SELURUH dunia sudah memakainya, dan saya jadi mahluk aneh karena tidak menggunakan. Keluarga, teman, mahasiswa, bahkan teman les Inggris anak saya juga sudah menggunakan. Padahal mereka masih SD! Sampai keheranan bule-bule yang mengajar di sana ‘What do you need from this expensive gadget?’. Buat mereka, BB itu mahal, bukan untuk anak kecil, dan dipakai buat apa sih?
Kembali ke pertanyaan teman saya tadi, saya putuskan untuk wujudkan ini jadi satu artikel. Jadi kalau ada yang tanya lagi, saya tinggal bilang ‘Saya kasih link Kompasiana aja ya, buka dan baca di sana’. Terserah mau buka atau tidak, ini penjelasan lengkapnya.
1. Email?
Ada yang bilang biar gampang email-emailan. Jaman sekarang sih smartphone tipe apapun juga ada fasilitas push email. Jadi saya tinggal tunggu saja tuh ponsel saya bunyi menandakan email masuk. Buka attachment dalam bentuk gambar dan office masih bisa. Email saya jarang berisi data yang bermega-mega, dan jarang yang perlu dibalas secepatnya.
2. Internet?
Sama juga kalau dibilang supaya bisa buka internet. Di smartphone yang lain juga bisa. Tinggal install Opera Mini atau Mobile supaya ngga berat, jadi deh! Tidak perlu browser khusus, soal kecepatan sama saja, tergantung provider. Jika sebulan pengguna harus membayar 49 ribu hingga 99 ribu sebulan untuk bisa berselancar, saya cukup 5 ribu hingga 20 ribu sebulan jika pemakaian sedang banyak.
3. Blackberry Message Messenger (BBM) ?
Ini nih daya tarik utamanya. Pantes saya selalu diminta no PIN, rupanya untuk mengajak saya ngobrol dalam bentuk tulisan. Pertama dari konsepnya saja saya tidak suka. BBM memaksa saya untuk wajib menjawab pesan yang BARU masuk dengan segera. Padahal kerjaan kita kan ngga cuma nungguin BBM. Lagi sibuk bekerja, eh di PING! bolak balik, apa tidak senewen tuh.
Yang kedua, karena biasanya untuk BBM tinggal beli paket dari provider, mau jarinya nempel terus di BB harganya ya sama saja. Pengguna cenderung berlebihan dalam menggunakannya, dan isi pesannya jadi pendek-pendek, means frekuensi kirimnya jadi lebih sering.
‘Makan yuk’
‘dimana?’
‘Dimana aja’
‘lo dimana? Putuskan!’
‘Terserah kamu deh.’
‘ayo, kamu aja’
Gimana, gemes kan bacanya? Saya saja sebel nulisnya. Coba kalau sms, kita cenderung berusaha memampatkan kata-kata dlm 160 karakter, karena satu kali SMS harus bayar sekitar 100 perak (berharga lo 100 itu, kalau ngga ada 100 ngga mungkin bisa jadi 1000). Maka muncul singkatan-singakatan yang saya ciptakan sendiri, yang tidak umum bagi yang lain. Bahasa planet, kata mereka.
BBM telah sukses merenggut perhatian teman-teman saya saat kami makan bersama di luar. Sambil menunggu pesanan, bukannya mengobrol malah pada asyik BBMan. BBM telah sukses mengalihkan perhatian mahasiswa dari materi yang diajarkan dalam kelas, membuat saya mengincarnya untuk menjawab pertanyaan. Saya juga memberhentikan guru les yang lebih asyik dengan BBnya daripada fokus mengajar anak bimbingnya. Serasa diperbudak teknologi, baru bunyi PING! sudah terbirit-birit membukanya.
4. Aplikasi?
Kalau dari segi jumlah, aplikasi di BB kalah jauh dengan Android dan iOS. Tapi saya tidak perlu banyak aplikasi kok. Yang penting ada kamusnya, ada petanya, dan ada officenya. Untuk tiga aplikasi ini saja BB masih kalah dengan-bahkan-operating system yang jadul, Symbian.
5. QWERTY?
Gelombang ponsel dengan tombol QWERTY memang telah lama berlangsung, dan kini semua orang nampak telah piawai memakainya. Kecuali saya. Awalnya sih karena susah nyetir sambil SMSan kalau ponselnya QWERTY. Kalau 2 jempol saya mencet-mencet ponsel, yang pegang setir siapa? Kaki?
Setelah saya sadar bahaya multitasking saat mengemudi dan menghentikan kebiasaan ini, tetap saja saya tidak bisa menggunakan ponsel QWERTY. Pernah saya coba, hasilnya banyak kesalahan ketik dan kecepatannya lebih lambat. Pernah juga coba yang half QWERTY, wah ini sih lebih kacau lagi, satu tombol berisi 4 karakter. Tekan kiri dan kanan tombol huruf yang muncul bisa beda. Kalau tekan tombol alt dulu, giliran 2 karakter di atas yang muncul. Ribeeeet.
BB memang mengeluarkan versi candybar untuk mereka yang non QWERTY. Tapi berhubung sudah membahas 4 poin sebelumnya, tetap saja tidak tertarik menggunakan BB. Sekarang ponsel saya menggunakan layar sentuh, dan syukurlah keyboardnya bisa diatur ke PhonePad sehingga saya bisa tetap ngotot menggunakan satu jempol saja untuk texting.
6. Harga?
Harga BB menurut saya mahal, jika dilihat dengan kemampuannya, dan kebutuhan saya. Saya ngga butuh BBM, menonton video Youtube atau membuka puluhan email dalam satu hari. Dengan uang yang sama, saya bisa membeli 2 atau 3 smartphone lain, atau menabung untuk beli iPhone. Tapi sama juga sih, saya juga ngga perlu iPhone, jadi yang saya lakukan adalah bertahan dengan ponsel lama, atau membeli ponsel baru yang sesuai kebutuhan.
Kemajuan teknologi bukan berarti kita yang dimanfaatkan teknologi, namun harusnya kita yang MEMANFAATKAN teknologi. BB tentu saja sangat berguna, asal kita tahu cara memanfaatkannya dengan bijaksana. Gunakan jika kita butuh, bukannya menggunakan untuk setiap PING! yang masuk.
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar di postingan ini